sumber : www.google.com |
PEOPLE_WATCH
Tempat berbagai info dan berita mengenai Usaha, Bisnis, Pendidikan,Sosial Kemasyarakatan, dan Hukum.
Selasa, 16 Oktober 2012
Perang Dingin KPK-POLRI
Jumat, 27 April 2012
WARUNG BANTARAN SUNGAI BRANTAS
Warung Bantaran Sungai Brantas |
Setidaknya pasti anda tahu tempat ini.
Ya....ini adalah warung-warung di bantaran sungai Brantas, atau biasa disebut DERMAGA . Sepanjang pinggir sungai, mulai dari selatan sampai ke utara, banyak berjajar warung-warung semacam ini.
Menurut anda, baik atau buruk kah dengan adanya warung-warung ini??? Mari kita bahas lebih lanjut.
Mungkin kebanyakan dari anda sudah tahu tempat ini, atau bahkan sudah pernah singgah di tempat ini. Memang banyak suara-suara dari masyarakat tentang tempat ini, mulai dari suara-suara enak, sampai suara-suara miring mengenai tempat ini. Ya itu memang hak tiap-tiap orang untuk bebas berpendapat.
Saya akan memulai membahas secara panjang tentang tempat ini. Untuk anda ketahui, mungkin beberapa tahun yang lalu, tempat ini belum ada, daerah sepanjang aliran sungai brantas hanya berupa semak-semak, lahan-lahan kosong, dan sepi. Bahkan sebuah jalan yang ada di pinggir sungai ini, kebanyakan orang mengatakan jalan mati. Bagaimana bisa??? Jelas bisa.....!! Dahulu kala, daerah pinggiran sungai ini, merupakan daerah yang sepi, jalan yang berada di daerah itu pun juga sepi, terutama pada malam hari, jarang ada orang mau melintasi tempat itu, Karena apa? Karena jalan pada daerah itu termasuk jalan yang rawan kriminalitas, sudah bukan merupakan rahasia ,banyak kejahatan di tempat itu dulunya, mulai dari kasus-kasus, perampasan, kerusuhan, bahkan pernah juga ada kasus pembunuhan. Oleh karena itu, pada masa dulu, jarang sekali ada orang mau melintasi jalan daerah itu, terutama malam hari, itulah kenapa jalan itu bisa dikatakan jalan mati dulunya. Hanya segelintir orang yang mau melintasi jalan yang sepi itu, dan memanfaatkan situasi itu. Memanfaatkan?? ya...memanfaatkan, yang saya maksudkan, adalah para pasangan kaum adam dan hawa. Tidak perlu ditutup-tutupi lagi, kawasan itu dulunya memang kawasan in de hoy atau tempat bermesum ria. Ya memang dikarenakan kawasan itu sangat strategis, sepi,gelap dan tersembunyi. Tak jarang dulunya banyak pasangan muda-mudi sekedar pacaran, atau malah asyik peluk-pelukkan, berciuman, bahkan ada yang sampai melakukan hubungan layaknya suami-istri. Namanya juga orang sedang asyik bercinta, tak pandang daerah itu rawan kriminalitas ataupun kejahatan, selama keinginan mereka bisa terpenuhi, mereka tak akan memikirkan itu. Selain rawan kejahatan,rawan digunakan tempat mesum, daerah bantaran sungai ini dulunya juga sering digunakan para pencari emas hitam sebagai akses menaikkan pasir dari sungai. Mulai dari yang manggunakan tenaga manusia, sampai yang menggunakan mesin. Baru sekarang-sekarang inilah pemerintah kelimpungan memberantas para pencari emas hitam tersebut. Suatu hal yang terlambat bukan??? tapi tak apa, lebih baik terlambat daripada tidak.
Berdasarkan cerita singkat mengenai sejarah daerah bantaran sungai brantas ini, tentunya anda dapat menyimpulkan sendiri, betapa banyak efek negatif di daerah itu kan...??? Tapi sekarang saya ajak anda melihat daerah bantaran sungai sekarang ini. Kawasan ini sekarang tak pernah sepi dari lalu-lalang kendaraan, baik orang-orang yang ingin singgah di warung-warung di daerah ini, maupun orang-orang sekitar. Sekarangpun juga sudah jarang ditemui kasus-kasus kriminal di daerah ini. Selain itu, dengan adanya warung-warung di bantaran sungai ini, akses jalan untuk menaikkan pasir oleh para pencari emas hitam juga berkurang, karena warung-warung ini kan berdempetan, sehingga tidak ada jalan untuk para pencari pasir menaikkan hasil tambangnya ke atas, karena tertutup oleh warung-warung ini. Bukankah sangat kontras dengan daerah bantaran sungai brantas pada masa dulu??? Bukankah sangat membantu sebagai salah satu alat kontrol masyarakat?? Apalagi warung-warung ini pun juga bukan sembarangan, mereka bahkan membentuk paguyuban, memiliki struktur pengurus, mereka pun memiliki petugas yang mengurusi kebersihan dan keamanan daerah warung-warung tersebut. Bukankah itu sebuah poin plus??
Selain itu, dengan adanya warung-warung ini, membantu para pihak-pihak yang berwajib dalam menjaga situasi kota. Karena, tempat ini menjadi salah satu tempat massa berkumpul, tempat ini menjadi jujukan masyarakat yang ingin refreshing ataupun nongkrong bersama kerabat sambil menikmati sajian-sajian di warung, serta menikmati kesejukan dan melihat pemandangan sungai brantas.Dan juga, masyarakat sekitar daerah bantaran sungai ini, atau daerah Mejenan, sangat terbantu dalam hal mata pencaharian. Masyarakat yang dahulunya menganggur, menjadi memiliki sumber penghasilan, dan yang penghasilannya belum mencukupi dalam pekerjaannya, dengan mendirikan warung , bisa menambah penghasilan lagi. Sebab memank peraturannya, selain warga Mejenan tidak diperbolehkan mendirikan warung di daerah tersebut, dan juga tidak boleh dikomersilkan. Bukankah itu merupakan poin plus ??? Apakah itu merupakan hal buruk ?? Tentunya bukan. Memang, masih ditemukan di beberapa warung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab, melakukan hal-hal negatif, seperti minum-minuman keras, ataupun pasangan muda-mudi yang mojok dan in de hoy, namun untungnya tidak sampai melewati batas. Tapi itu tidak ditemukan di semua warung, oleh karena itu saya tidak setuju jika ada pihak-pihak yang seenaknya saja maen Gebyah Uyah maksudnya adalah menyamaratakan semua warung, jadi, kejelekan atau hal negatif yang disebabkan satu warung, kemudian semua warung dicap sama, kalau kata pepatah," nila setithik, rusak susu sebelanga"... Saya sangat tidak setuju kalau pepatah itu diumpamakan pada warung-warung ini. Memang warung-warung di bantaran sungai ini merupakan sebuah kesatuan berupa paguyuban, tapi harus diperhatikan, tiap-tiap warung itu mempunyai pemilik yang berbeda, dan jelas memiliki karakter sifat yang berbeda-beda pula. Sebenarnya itu semua bukan tidak dicegah, karena dari paguyuban pun sudah memberi aturan-aturan pada tiap anggotanya, namun yang dikhawatirkan adalah apabila ada pemilik yang nakal atau bandel . Sehingga itu semua tetap kembali pada kesadaran dan pribadi tiap-tiap pemilik, karena tidak setiap saat pengurus bisa mengawasi dan juga diperlukan sebuah ketegasan dan kedisiplinan dari tiap-tiap pemilik warung.
Sekarang ini, yang sedang ramai diperbincangkan adalah adanya desas-desus digusurnya atau dilarangnya warung-warung di pinggir sungai ini berdiri. Memang sih mereka mendirikan warung di tempat yang bukan milik mereka, namun apakah tidak bisa dipikirkan lagi??.Sebenarnya, saya secara pribadi tidak setuju dengan hal tersebut. Karena apa?? Ya karena semua hal yang sudah saya bahas sebelumnya di atas. Sebenarnya lebih banyak hal positif dari pada negatifnya.Apabila memang tidak diperbolehkan berjualan lagi, apakah pemerintah siap menanggung semua efek dan resiko nya?? Apakah pemerintah siap jika kawasan bantaran sungai ini menjadi seperti dulu lagi, sepi, gelap, rawan kriminal dan kejahatan, serta apakah pemerintah siap mencarikan lapangan pekerjaan bagi puluhan warga yang menjadi penganggur setelah warung mereka ditutup?? Karena sebenarnya mereka tidak hanya bekerja secara pribadi, mereka juga menciptakan lapangan kerja. Misalnya bagi para pegawai-pegawai yang membantu mereka berjualan, menambah daftar pelanggan bagi sales-sales minuman instan, serta juga mereka merupakan pelanggan setia dari pedagang-pedagang di pasar. Setidaknya pemerintah berpikir ratusan kali lagi jika ingin menutup warung-warung tersebut. Dan bagaimanakah pendapat anda pribadi?? Sebagai penutup, saya harapkan semoga semua warung tersebut tetap berdiri, hanya pemerintah membantu dalam hal kontrol sosial dan menjaga stabilitas keamanan daerah tersebut.
Kamis, 13 Oktober 2011
Pecel Tumpang Kediri
Pecel Tumpang Khas Kediri
Jika anda berjalan-jalan ke Kota Kediri pada malam hari, belum lengkap jika tidak berkunjung di Jalan Dhoho. Jalan Dhoho ini layaknya Jalan Marlboro di Yogyakarta, namun versi Kediri. Berbagai pertokoan berjajar sepanjang Jalan Dhoho. Ada toko pakaian, aneka kerajinan dan swalayan. Tidak lupa berbagai makanan khas Kediri juga terpampang sepanjang jalan ini.
Jika anda berjalan-jalan ke Kota Kediri pada malam hari, belum lengkap jika tidak berkunjung di Jalan Dhoho. Jalan Dhoho ini layaknya Jalan Marlboro di Yogyakarta, namun versi Kediri. Berbagai pertokoan berjajar sepanjang Jalan Dhoho. Ada toko pakaian, aneka kerajinan dan swalayan. Tidak lupa berbagai makanan khas Kediri juga terpampang sepanjang jalan ini.
Nasi Pecel Pincuk |
Termasuk di antaranya adalah pecel tumpang. Nah, setelah anda puas berbelanja, anda bisa istirahat santai di pinggir Jalan Dhoho sembari memesan nasi pecel tumpang pincuk. Sembari makan pecel tumpang kita bisa menikmati lalu lalang kendaraan yang berjalan lambat di sepanjang Jalan Dhoho.
Pecel tumpang Jalan Dhoho biasanya mulai digelar pukul 15.00 WIB hingga tengah malam. Jangan anggap bahwa pecel tumpang di sini disajikan di dalam ruangan lengkap dengan tempat duduk seperti apa yang kita bayangkan. Pembeli hanya disediakan tikar plastik atau karpet dan bebas memilih tempat duduk lesehan. Boleh di depan pertokoan yang tutup, trotoar maupun di manapun di sepanjang Jalan Dhoho, asal tidak di tengah jalan.
Para penjual pecel tumpang pun tidak memiliki bedak. Mereka menggelar dagangannya di depan pertokoan dengan bermodalkan pikulan dan tempat seadanya. Walaupun tempat pedagang antara satu dengan lainnya saling berdekatan, namun mereka sama sama laku dan memiliki penggemar fanatik. Para penikmat pecel tumpang fanatik itu seringkali datang hanya untuk bersantai dan menikmati makanan khas Kediri ini.
Nasi Tumpang Pincuk |
Menu yang disajikan pun beragam, sesuai dengan selera pembeli. Ada yang suka dengan nasi pecel, nasi tumpang maupun nasi campur (campuran antara tumpang dan pecel). Cara penyajian sambal tumpang tak jauh beda dengan cara penyajian sambal pecel, yaitu dengan nasi yang di atasnya di beri aneka lalapan atau sayur – mayur yang telah direbus terlebih dahulu lalu disiram dengan sambal tumpang dan diberi peyek sebagai pelengkap, bisa peyek kacang atau peyek teri. Pecel tumpang ini disajikan disajikan di atas pincuk yang terbuat dari daun pisang. Anda bisa menggunakan sendok yang disediakan atau muluk pakai tangan. Jika anda muluk anda tinggal minta kobokan untuk cuci tangan.
Tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk menikmati makanannya hanya mengeluarkan Rp. 5000,- anda sudah mendapatkan satu pincuk pecel tumpang, 1 gelas teh anget ato es teh dan sisanya bisa buat parkir. tidak mahal bukan?
Sambal tumpang terbuat dari tempe yang telah busuk (bosok). Tempe yang sudah membusuk ini dimasak di campur dengan aneka bumbu seperti lombok atau cabe, bawang, garam dan bumbu dapur lainnya. Sambal tumpang memang terbuat dari tempe bosok, namun jangan keburu jijik cobalah dulu rasanya jika telah matang, pasti akan membuat anda ketagihan. Saya sudah mulai ketagihan nich.
Di Kota Lain , belum tentu bisa menemukan tempat penjual nasi pecel-tumpang yang MANTAP rasanya. Untuk para pembaca yang hoby makan pecel tumpang bisa merekomendasikan di mana tempat-tempat yang paling nikmat untuk makan pecel tumpang menurut anda. Pasti akan menjadi refrensi para pembaca yang lain penikmat Pecel tumpang.
Dan Pecel-Tumpang ini mungkin bisa jadi pilihan usaha yang cerah untuk anda buka di kota anda.
http://www.jelajahbudaya.com/kabar-budaya/pecel-tumpang-pincuk-lesehan-jalan-dhoho-kediri.html
Usaha Tahu "TAKWA" Khas Kediri
Sejarah Tahu atau Takwa Kediri
Sebenarnya Tahu itu apa?
Selain dikenal sebagai penghasil rokok terbesar di Indonesia, Kota Kediri juga dikenal sebagai Kota Tahu. Tahu Kediri memiliki ciri dan citarasa tersendiri. Walah ada yang berwarna putih, namun yang lebih dikenal sebagai Tahu Kediri adalah yang berwarna kuning sehingga sering juga disebut sebgai Tahu Kuning Kediri.
Sebenarnya Tahu itu apa?
Tahu adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasi dan diambil sarinya. Berbeda dengan tempe yang asli dari Indonesia, tahu berasal dari Cina, seperti halnya kecap, tauco, bakpau, dan bakso. Tahu adalah kata serapan dari bahasa Hokkian (tauhu) (Hanzi: 豆腐, hanyu pinyin: doufu) yang secara harfiah berarti “kedelai yang difermentasi”. Tahu pertama kali muncul di Tiongkok sejak zaman Dinasti Han sekitar 2200 tahun lalu. Penemunya adalah Liu An (Hanzi: 劉安) yang merupakan seorang bangsawan, cucu dari Kaisar Han Gaozu, Liu Bang yang mendirikan Dinasti Han.
Takwa juga berarti tahu. Versi lain, kata tahu berasal dari bahasa Cina: tao-hu, teu-hu, atau tokwa. Tao atau teu berarti kacang (kedelai). Hu dan kwa berarti lumat.
Sejarah tahu Kediri tak lepas dari sejarah migrasi warga Tiongkok ke Indonesia pada tahun 1900 silam. Dari ribuan imigran yang datang ke Indonesia, beberapa diantaranya ke Kediri. Saat itu belum terjadi pemisahan kota dan kabupaten.
3 pendatang Tiongkok diantaranya dikenal sebagai pelopor pembuatan tahu, yaitu Lauw Soe Hoek yang lebih dikenal dengan Bah Kacung, Liem Ga Moy, dan Kaou Loung. Hingga saat ini generasi penerus masih mempertahankan usaha yang dirintis oleh leluhurnya, kecuali Kaou Loung.
Dipilihnya Kediri sebagai lokasi tempat usaha pembuatan tahu, faktor utamanya adalah karakteristik air di lokasi rantau memiliki kesamaan dengan air di Tiongkok. Liem Djang Yen (Bambang Suyendro) penerus bisnis dan putra Liem Ga Moy mengungkapkan, “Proses pembuatan tahu ini tidak segampang membalikkan telapak tangan. Jenis air sangat berpengaruh terhadap hasil akhir.”
Lauw Soe Hoek atau hingga kini lebih dikenal sebagai Bah Kacung mulai merintis usaha tahu sejak 1912. Saat ini usahanya telah diteruskan oleh cucunya Herman Budiono setelah putranya Yosef Seger Budisantoso (Lauw Sing Hian) meninggal bulan Mei 2008 lalu.
Sedangkan Liem Ga Moy mengawali usahanya tahun 1948. “Ayah saya mulai membuat tahu ini pada tahun 1948 di Pesantren (Kecamatan Pesantren), setelah hampir 20 tahun bermukim di Tawang, Wates. Kisaran tahun 1950 usaha ayah saya semakin maju, tapi tetap belum bermerek,” ungkap Liem Djang Yen menjelaskan.
Kualitas yang terjaga tetap apik menjadikan tahu produksi Bah Kacung, Liem Ga Moy, dan Kaou Loung. Kondisi ini menjadikan karya mereka semakin dikenal dan turut mengangkat nama Kota Kediri hingga berujung pada disematkannya sebutan Kota Tahu.
Salah satu cara untuk menjaga “citra rasa tahu Bah Kacung adalah dengan mempertahankan cara tradisional dalam membuat tahu Bah Kacung. Peralatannya masih dibuat dari kayu dan batu, serta dikerjakan secara manual dengan tenaga manusia. Bahkan, masih tetap menggunakan kayu. “Dengan menggunakan gilingan ini rasa tahu lebih gurih karena bubur kedelai tidak lumat terlalu halus seperti hasil jika digiling dengan mesin. Bahkan ampas tahunya masih terasa gurih.” jelas Herman Budiono.
Tak heran jika kapasitas produksi Bah Kacung pun terbatas. Malah, sampai sekarang mereka tidak membuka cabang atau menitipkan tahunya ke agen manapun.
Saat ini, pengusaha tahu Kediri lain sudah berproduksi dengan peralatan dan kemasan moderen berbahan pengawet, sehingga bisa mengirim tahu ke luar Kediri.
http://aslikediri.com/sejarah-tahu-atau-takwa-kediri/
Selasa, 11 Oktober 2011
Geliat Usaha Kerupuk Goreng Pasir
Siapapun tahu gurihnya kerupuk pasir, apalagi jika dicolet pake petis atau dimakan dengan rujak. Bisnis kerupuk ini tak pernah melempem. Di Jatim, ada banyak sentra kerupuk pasir, termasuk Kediri, Mojokerto, Jombang, Sidoarjo, Surabaya. Di ujung Jalan Banyu Urip Jaya V Surabaya inilah, ratusan kilogram kerupuk pasir yang setiap hari dinikmati warga Surabaya, berasal.
Pasangan Mohammad Baidowi dan Sri Ekowati, tidak pernah menyangka bahwa usaha kerupuk pasir yang dibangunnya sejak 1998, bakal menjadi sandaran hidup sampai kini.
“Waktu itu saya jadi tukang AC di sebuah toko, yang setiap pulang kerja lewat kawasan penjual rujak manis di Dr Soetomo-Polisi Istimewa untuk menjemput istri. Saya pikir, kalau rujak diberi kerupuk pasti enak. Dari sanalah ide itu berasal,” kata pria lulusan MA Jombang, yang kini berusia 49 tahun.
Secara kebetulan, tetangga di Jombang banyak yang bikin kerupuk pasir. “Iseng-iseng saya beli kerupuk mentah dari tetangga ini, lalu saya bumbui garam, cabe, bawang, kemudian saya jemur dan setelah kering baru saya angkut ke Surabaya. Di sini, kerupuk ini saya goreng dengan pasir dan dipasarkan ke tetangga. Responsnya cukup bagus,” akunya.
Ingin mencoba pasar lebih luas, adik Baidowi mencoba membawa kerupuk pasir ini ke perkantoran dan deretan PKL rujak manis di tengah kota. Ternyata, peminatnya pun tidak sedikit. Kini, ia bisa memasarkan tidak kurang dari 300 bungkus kerupuk pasir kemasan seharga Rp 1.500 atau Rp 2.000 jika eceran dan 50 kemasan besar seharga Rp 5.000 ke perkantoran.
”Sebenarnya bisa juga dipasarkan di warung-warung dengan kemasan kecil Rp 1.000, tetapi saya tidak telaten, karena otomatis waktu yang dibutuhkan jauh lebih banyak dengan keuntungan yang mepet,” sambung Sri Ekowati (46), yang dulu pernah bekerja sebagai reception di sebuah hotel di Surabaya ini.
Penggemar rujak manis dan kerupuk pasir Tri Wutanti mengaku, gemar makanan ini sejak ia duduk di bangku SMA. “Setiap beli rujak di Dr Soetomo saya selalu beli dengan kerupuk pasirnya. Di kota lain seperti Magetan, kemarin saya sempatkan beli kerupuk pasir yang ada petisnya. Kerupuk ini enak buat camilan di saat senggang, asal jangan terlalu banyak pasirnya,” ujar wanita 25 tahun ini.
Model kerupuk pasir yang disukainya yang berukuran kecil-kecil lonjong pendek dan yang bulat warna-warni. “Harganya murah, tidak sampai Rp 5.000 sebungkus. Sekali beli paling-paling dua bungkus besar buat dimakan rame-rame di rumah,” ujar wanita yang tinggal daerah Tambaksari ini.
Potensi Bagus
Menurut Baidowi, usaha kerupuk pasir yang kini mampu menghasilkan omzet Rp 350.000–500.000 per hari itu awalnya hanya bermodal Rp 30.000. “Sampai sekarang saya tetap beli bahan kerupuk mentahnya, tidak produksi sendiri. Belinya dari Kediri dengan harga Rp 6.000 per kg. Sekali borong tidak tentu, tetapi rata-rata per hari bisa menggoreng 30 kg kerupuk mentah,” jelasnya.
Untuk proses penjemuran dilakukan di Jombang di rumah orangtua, mengingat lahan di sana cukup luas. Dari bahan mentah, diproses atau dibasahi dengan bumbu garam, bawang dan cabe, lalu dijemur. Untuk menjemur satu ton kerupuk mentah perlu waktu empat hari jika tidak ada hujan.
Sri menambahkan, sejak berdiri hingga 2007 silam ia sempat punya banyak karyawan, bahkan setiap hari bisa menggoreng 50 kg kerupuk mentah. Pasalnya, saat itu memang belum gencar penertiban PKL, sehingga penitipan kerupuk bisa dimana-mana. Bahkan sempat punya 10 stan PKL.
“Sekarang semuanya sudah tidak ada, pemasaran lebih terbatas. Kalau dulu punya 10 karyawan, sekarang hanya mempekerjakan tiga orang. Tiap bulan saya gaji Rp 200.000-an. Sebetulnya usaha ini punya potensi bagus jika pemasarannya ditingkatkan lagi,” jelas ibu dua anak ini.
Khusus hari libur Sabtu-Minggu, ia mengaku kewalahan menerima pesanan. “Kebetulan rumah saya dekat gereja, jadi kalau weekend pesanannya sangat banyak. Sehabis mereka beribadah di gereja, pasti mborong kerupuk pasir,” ujarnya.
Ia sengaja tidak memakai petis karena ongkos produksinya mahal. “Pakai petis lebih ribet, nggak nututi biayanya. Cabe saja sekarang masih Rp 50.000, saya ganti cabe Thailand yang murah tetapi tidak pedas,” urai Sri.
Tahun ini, ia pun berencana memperluas jangkauan pemasaran, namun tidak ada niat untuk mendirikan outlet atau stan khusus karena akan menggerus biaya operasionalnya. Untuk bantuan permodalan, Sri telah mengajukan ke BRI. ame
Pasir untuk Memanaskan Alat Penggorengan
Membuka usaha kerupuk pasir bisa dilakukan siapa saja. Modalnya bisa berapa saja. Membuat bahan bakunya pun tak susah. Perpaduan yang tepat antara tepung tapioka, bawang putih, soda, gula, cabe, garam, telur, bisa menjadikan kerupuk berasa yummy.
Menurut M Baidowi, proses pembuatannya sebetulnya tak terlalu sulit, namun butuh waktu lama dan agak sedikit ribet karena proses penjemurannya mengandalkan sinar matahari langsung, tidak bisa dikeringkan dengan mesin pengering. Kerupuknya bisa mengembang dan memiliki rasa lebih sip, jika dijemur menggunakan sinar matahari.
“Jangan lupa siapkan mesin penggorengan khusus pasir, gula pasir, minyak goreng, serta gas elpiji,” ujarnya. Harga mesin penggorengan yang sederhana kini kisaran Rp 1,5 juta. Pasirnya tak perlu banyak, cukup sediakan 1 sack bisa untuk setahun. Keberadaan pasir hanya membantu mempercepat pemanasan alat penggorengan,” ujar Baidowi.
Namun sebelum pasir dipakai, dicuci dulu dengan air sampai bersih, lalu dijemur sampai kandungan airnya habis. Selain pasir, kebutuhan minyak goreng juga jangan terlalu banyak karena sifatnya hanya untuk tidak melengketkan kerupuk dengan alat penggorengan.
Pasangan Mohammad Baidowi dan Sri Ekowati, tidak pernah menyangka bahwa usaha kerupuk pasir yang dibangunnya sejak 1998, bakal menjadi sandaran hidup sampai kini.
“Waktu itu saya jadi tukang AC di sebuah toko, yang setiap pulang kerja lewat kawasan penjual rujak manis di Dr Soetomo-Polisi Istimewa untuk menjemput istri. Saya pikir, kalau rujak diberi kerupuk pasti enak. Dari sanalah ide itu berasal,” kata pria lulusan MA Jombang, yang kini berusia 49 tahun.
Secara kebetulan, tetangga di Jombang banyak yang bikin kerupuk pasir. “Iseng-iseng saya beli kerupuk mentah dari tetangga ini, lalu saya bumbui garam, cabe, bawang, kemudian saya jemur dan setelah kering baru saya angkut ke Surabaya. Di sini, kerupuk ini saya goreng dengan pasir dan dipasarkan ke tetangga. Responsnya cukup bagus,” akunya.
Ingin mencoba pasar lebih luas, adik Baidowi mencoba membawa kerupuk pasir ini ke perkantoran dan deretan PKL rujak manis di tengah kota. Ternyata, peminatnya pun tidak sedikit. Kini, ia bisa memasarkan tidak kurang dari 300 bungkus kerupuk pasir kemasan seharga Rp 1.500 atau Rp 2.000 jika eceran dan 50 kemasan besar seharga Rp 5.000 ke perkantoran.
”Sebenarnya bisa juga dipasarkan di warung-warung dengan kemasan kecil Rp 1.000, tetapi saya tidak telaten, karena otomatis waktu yang dibutuhkan jauh lebih banyak dengan keuntungan yang mepet,” sambung Sri Ekowati (46), yang dulu pernah bekerja sebagai reception di sebuah hotel di Surabaya ini.
Penggemar rujak manis dan kerupuk pasir Tri Wutanti mengaku, gemar makanan ini sejak ia duduk di bangku SMA. “Setiap beli rujak di Dr Soetomo saya selalu beli dengan kerupuk pasirnya. Di kota lain seperti Magetan, kemarin saya sempatkan beli kerupuk pasir yang ada petisnya. Kerupuk ini enak buat camilan di saat senggang, asal jangan terlalu banyak pasirnya,” ujar wanita 25 tahun ini.
Model kerupuk pasir yang disukainya yang berukuran kecil-kecil lonjong pendek dan yang bulat warna-warni. “Harganya murah, tidak sampai Rp 5.000 sebungkus. Sekali beli paling-paling dua bungkus besar buat dimakan rame-rame di rumah,” ujar wanita yang tinggal daerah Tambaksari ini.
Potensi Bagus
Menurut Baidowi, usaha kerupuk pasir yang kini mampu menghasilkan omzet Rp 350.000–500.000 per hari itu awalnya hanya bermodal Rp 30.000. “Sampai sekarang saya tetap beli bahan kerupuk mentahnya, tidak produksi sendiri. Belinya dari Kediri dengan harga Rp 6.000 per kg. Sekali borong tidak tentu, tetapi rata-rata per hari bisa menggoreng 30 kg kerupuk mentah,” jelasnya.
Untuk proses penjemuran dilakukan di Jombang di rumah orangtua, mengingat lahan di sana cukup luas. Dari bahan mentah, diproses atau dibasahi dengan bumbu garam, bawang dan cabe, lalu dijemur. Untuk menjemur satu ton kerupuk mentah perlu waktu empat hari jika tidak ada hujan.
Sri menambahkan, sejak berdiri hingga 2007 silam ia sempat punya banyak karyawan, bahkan setiap hari bisa menggoreng 50 kg kerupuk mentah. Pasalnya, saat itu memang belum gencar penertiban PKL, sehingga penitipan kerupuk bisa dimana-mana. Bahkan sempat punya 10 stan PKL.
“Sekarang semuanya sudah tidak ada, pemasaran lebih terbatas. Kalau dulu punya 10 karyawan, sekarang hanya mempekerjakan tiga orang. Tiap bulan saya gaji Rp 200.000-an. Sebetulnya usaha ini punya potensi bagus jika pemasarannya ditingkatkan lagi,” jelas ibu dua anak ini.
Khusus hari libur Sabtu-Minggu, ia mengaku kewalahan menerima pesanan. “Kebetulan rumah saya dekat gereja, jadi kalau weekend pesanannya sangat banyak. Sehabis mereka beribadah di gereja, pasti mborong kerupuk pasir,” ujarnya.
Ia sengaja tidak memakai petis karena ongkos produksinya mahal. “Pakai petis lebih ribet, nggak nututi biayanya. Cabe saja sekarang masih Rp 50.000, saya ganti cabe Thailand yang murah tetapi tidak pedas,” urai Sri.
Tahun ini, ia pun berencana memperluas jangkauan pemasaran, namun tidak ada niat untuk mendirikan outlet atau stan khusus karena akan menggerus biaya operasionalnya. Untuk bantuan permodalan, Sri telah mengajukan ke BRI. ame
Pasir untuk Memanaskan Alat Penggorengan
Membuka usaha kerupuk pasir bisa dilakukan siapa saja. Modalnya bisa berapa saja. Membuat bahan bakunya pun tak susah. Perpaduan yang tepat antara tepung tapioka, bawang putih, soda, gula, cabe, garam, telur, bisa menjadikan kerupuk berasa yummy.
Menurut M Baidowi, proses pembuatannya sebetulnya tak terlalu sulit, namun butuh waktu lama dan agak sedikit ribet karena proses penjemurannya mengandalkan sinar matahari langsung, tidak bisa dikeringkan dengan mesin pengering. Kerupuknya bisa mengembang dan memiliki rasa lebih sip, jika dijemur menggunakan sinar matahari.
“Jangan lupa siapkan mesin penggorengan khusus pasir, gula pasir, minyak goreng, serta gas elpiji,” ujarnya. Harga mesin penggorengan yang sederhana kini kisaran Rp 1,5 juta. Pasirnya tak perlu banyak, cukup sediakan 1 sack bisa untuk setahun. Keberadaan pasir hanya membantu mempercepat pemanasan alat penggorengan,” ujar Baidowi.
Namun sebelum pasir dipakai, dicuci dulu dengan air sampai bersih, lalu dijemur sampai kandungan airnya habis. Selain pasir, kebutuhan minyak goreng juga jangan terlalu banyak karena sifatnya hanya untuk tidak melengketkan kerupuk dengan alat penggorengan.
Geliat Usaha Kerupuk Goreng Pasir
Gurihnya, Renyahnya, dan Nikmatnya " Si Kerupuk Padang Pasir "
Kerupuk ini punya banyak julukan, ada yang bilang " Kerupuk Pok", " Kerupuk Upil "," Kerupuk Pasir ".Hmm..... Siapapun tahu gurihnya kerupuk pasir, apalagi jika dicolet pake petis atau dimakan dengan rujak. Bisnis kerupuk ini tak pernah melempem. Anda belum pernah mencobanya?? wahh..pasti anda akan menyesal jika tidak mencobanya. Di Jatim, ada banyak sentra kerupuk pasir, termasuk Kediri, Mojokerto, Jombang, Sidoarjo, Surabaya. Di ujung Jalan Banyu Urip Jaya V Surabaya inilah, ratusan kilogram kerupuk pasir yang setiap hari dinikmati warga Surabaya, berasal.
Pasangan Mohammad Baidowi dan Sri Ekowati, tidak pernah menyangka bahwa usaha kerupuk pasir yang dibangunnya sejak 1998, bakal menjadi sandaran hidup sampai kini.
“Waktu itu saya jadi tukang AC di sebuah toko, yang setiap pulang kerja lewat kawasan penjual rujak manis di Dr Soetomo-Polisi Istimewa untuk menjemput istri. Saya pikir, kalau rujak diberi kerupuk pasti enak. Dari sanalah ide itu berasal,” kata pria lulusan MA Jombang, yang kini berusia 49 tahun.
Secara kebetulan, tetangga di Jombang banyak yang bikin kerupuk pasir. “Iseng-iseng saya beli kerupuk mentah dari tetangga ini, lalu saya bumbui garam, cabe, bawang, kemudian saya jemur dan setelah kering baru saya angkut ke Surabaya. Di sini, kerupuk ini saya goreng dengan pasir dan dipasarkan ke tetangga. Responsnya cukup bagus,” akunya.
Ingin mencoba pasar lebih luas, adik Baidowi mencoba membawa kerupuk pasir ini ke perkantoran dan deretan PKL rujak manis di tengah kota. Ternyata, peminatnya pun tidak sedikit. Kini, ia bisa memasarkan tidak kurang dari 300 bungkus kerupuk pasir kemasan seharga Rp 1.500 atau Rp 2.000 jika eceran dan 50 kemasan besar seharga Rp 5.000 ke perkantoran.
”Sebenarnya bisa juga dipasarkan di warung-warung dengan kemasan kecil Rp 1.000, tetapi saya tidak telaten, karena otomatis waktu yang dibutuhkan jauh lebih banyak dengan keuntungan yang mepet,” sambung Sri Ekowati (46), yang dulu pernah bekerja sebagai reception di sebuah hotel di Surabaya ini.
Penggemar rujak manis dan kerupuk pasir Tri Wutanti mengaku, gemar makanan ini sejak ia duduk di bangku SMA. “Setiap beli rujak di Dr Soetomo saya selalu beli dengan kerupuk pasirnya. Di kota lain seperti Magetan, kemarin saya sempatkan beli kerupuk pasir yang ada petisnya. Kerupuk ini enak buat camilan di saat senggang, asal jangan terlalu banyak pasirnya,” ujar wanita 25 tahun ini.
Model kerupuk pasir yang disukainya yang berukuran kecil-kecil lonjong pendek dan yang bulat warna-warni. “Harganya murah, tidak sampai Rp 5.000 sebungkus. Sekali beli paling-paling dua bungkus besar buat dimakan rame-rame di rumah,” ujar wanita yang tinggal daerah Tambaksari ini.
Potensi Bagus
Menurut Baidowi, usaha kerupuk pasir yang kini mampu menghasilkan omzet Rp 350.000–500.000 per hari itu awalnya hanya bermodal Rp 30.000. “Sampai sekarang saya tetap beli bahan kerupuk mentahnya, tidak produksi sendiri. Belinya dari Kediri dengan harga Rp 6.000 per kg. Sekali borong tidak tentu, tetapi rata-rata per hari bisa menggoreng 30 kg kerupuk mentah,” jelasnya.
Untuk proses penjemuran dilakukan di Jombang di rumah orangtua, mengingat lahan di sana cukup luas. Dari bahan mentah, diproses atau dibasahi dengan bumbu garam, bawang dan cabe, lalu dijemur. Untuk menjemur satu ton kerupuk mentah perlu waktu empat hari jika tidak ada hujan.
Sri menambahkan, sejak berdiri hingga 2007 silam ia sempat punya banyak karyawan, bahkan setiap hari bisa menggoreng 50 kg kerupuk mentah. Pasalnya, saat itu memang belum gencar penertiban PKL, sehingga penitipan kerupuk bisa dimana-mana. Bahkan sempat punya 10 stan PKL.
“Sekarang semuanya sudah tidak ada, pemasaran lebih terbatas. Kalau dulu punya 10 karyawan, sekarang hanya mempekerjakan tiga orang. Tiap bulan saya gaji Rp 200.000-an. Sebetulnya usaha ini punya potensi bagus jika pemasarannya ditingkatkan lagi,” jelas ibu dua anak ini.
Khusus hari libur Sabtu-Minggu, ia mengaku kewalahan menerima pesanan. “Kebetulan rumah saya dekat gereja, jadi kalau weekend pesanannya sangat banyak. Sehabis mereka beribadah di gereja, pasti mborong kerupuk pasir,” ujarnya.
Ia sengaja tidak memakai petis karena ongkos produksinya mahal. “Pakai petis lebih ribet, nggak nututi biayanya. Cabe saja sekarang masih Rp 50.000, saya ganti cabe Thailand yang murah tetapi tidak pedas,” urai Sri.
Tahun ini, ia pun berencana memperluas jangkauan pemasaran, namun tidak ada niat untuk mendirikan outlet atau stan khusus karena akan menggerus biaya operasionalnya. Untuk bantuan permodalan, Sri telah mengajukan ke BRI. ame
Pasir untuk Memanaskan Alat Penggorengan
Membuka usaha kerupuk pasir bisa dilakukan siapa saja. Modalnya bisa berapa saja. Membuat bahan bakunya pun tak susah. Perpaduan yang tepat antara tepung tapioka, bawang putih, soda, gula, cabe, garam, telur, bisa menjadikan kerupuk berasa yummy.
Menurut M Baidowi, proses pembuatannya sebetulnya tak terlalu sulit, namun butuh waktu lama dan agak sedikit ribet karena proses penjemurannya mengandalkan sinar matahari langsung, tidak bisa dikeringkan dengan mesin pengering. Kerupuknya bisa mengembang dan memiliki rasa lebih sip, jika dijemur menggunakan sinar matahari.
“Jangan lupa siapkan mesin penggorengan khusus pasir, gula pasir, minyak goreng, serta gas elpiji,” ujarnya. Harga mesin penggorengan yang sederhana kini kisaran Rp 1,5 juta. Pasirnya tak perlu banyak, cukup sediakan 1 sack bisa untuk setahun. Keberadaan pasir hanya membantu mempercepat pemanasan alat penggorengan,” ujar Baidowi.
Namun sebelum pasir dipakai, dicuci dulu dengan air sampai bersih, lalu dijemur sampai kandungan airnya habis. Selain pasir, kebutuhan minyak goreng juga jangan terlalu banyak karena sifatnya hanya untuk tidak melengketkan kerupuk dengan alat penggorengan.
Usaha Gethuk Pisang
Gethuk Pisang, Jajanan Tradisional yang Tetap Memikat
Selain tahu takwa, tidak lengkap rasanya kalau ke Kediri tidak membawa oleh-oleh gethuk pisang. Makanan ini sangat familiar jika anda datang ke Kediri. Rasanya yang manis legit akan menggoda selera anda untuk selalu ingin menikmatinya. Gethuk pisang biasanya juga disebut gethuk gedhang dalam bahasa jawa dan dikemas dengan bungkus daun pisang dan berbentuk seperti lontong.
Keberadaan gethuk sebagai jajanan khas Kediri sudah ada sejak turun temurun, belum jelas dari mana asal usul gethuk pisang itu sendiri. Harga yang ditawarkan cukup murah berkisar antara Rp 2.500-Rp 5.000, cukup tidak menguras kantong bukan?!. Gethuk pisang bisa didapatkan di sepanjang jalan anda ke Kediri. Biasanya juga ditawarkan oleh pedagang asongan di bis-bis maupun di lapak-lapak pinggir jalan sampai pusat oleh-oleh khas Kediri.
Sesuai namanya, gethuk pisang dibuat dari buah pisang. Bentuknya bulat panjang, sekitar 15 sentimeter, dan berwarna merah kecoklatan. Kemasannya biasa dibungkus dengan daun pisang. Gethuk pisang dibuat khusus dari pisang Raja Nangka. Raja Nangka pilih karena punya aroma dan rasa yang khas manis asam. Rasa manis asam inilah yang membuat rasa gethuk pisang menjadi khas asam manis tanpa gula.
Pembuatannya memang tidak susah, hanya butuh ketelatenan saja. Jika anda sudah mengetahui caranya, tidak salah kan untuk mencobanya sebagai peluang bisnis di daerah anda. Karena hal ini cukup potensial untuk dikenalkan di daerah anda sebagai jajanan baru khas Kediri.
Banyak tempat di Kota Kediri yang menyediakan gethuk pisang untuk dibawa pulang sebagai buah tangan. Hampir semua toko oleh-oleh khas Kediri selalu tersedia gethuk pisang, seperti yang terdapat di sepanjang Jalan Yos Sudarso dan Jalan Pattimura, Kota Kediri, dan sentra penjualan makanan khas Kota Kediri lainnya.
Apabila Anda menginginkan gethuk pisang khas Kediri untuk oleh-oleh, Anda dapat membelinya di toko-toko itu, namun sekali lagi harus diingat, karena bahan-bahan dan proses pembuatan gethuk pisang dilakukan secara natural, maka Anda harus memperhitungkan juga daya tahan si gethuk pisang yang manis legit namun tidak tahan lama ini. Anda pun bisa langsung menyantap kelezatan gethuk pisang di kios-kios yang menyediakan sembari menikmati suasana Kota Kediri. Selain itu, keberadaan gethuk pisang sangat mudah juga Anda temukan di jalan-jalan utama Kota Kediri karena penganan ini sering dijajakan oleh para pedagang asongan maupun di lapak-lapak yang banyak berjajar di tepi jalan raya.
Langganan:
Postingan (Atom)